Mendobrak Kesunyian: Pekerja Migran di Hong Kong Butuh Suara dan Dukungan Psikologis
ZTV.HONGKONG - Pekerja migran Indonesia (PMI) di Hong Kong menghadapi tantangan yang mengkhawatirkan terkait hak-hak mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak dari mereka terpaksa bekerja dengan jam yang berlebihan, sering kali tanpa mendapatkan hak istirahat yang layak. Hal ini semakin memprihatinkan mengingat mereka adalah tulang punggung keluarga di tanah air, yang diharapkan dapat memberikan dukungan finansial.
Jam Kerja Berlebihan dan Hak yang Terabaikan
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh sejumlah organisasi non-pemerintah, lebih dari 70% pekerja migran mengaku mengalami jam kerja melebihi batas yang ditetapkan. Mereka sering kali dipaksa untuk bekerja lebih dari 12 jam sehari, tanpa adanya waktu istirahat yang cukup. Situasi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik mereka, tetapi juga menciptakan tekanan mental yang berkelanjutan.
Lebih parahnya lagi, akses terhadap makanan yang layak sering kali terabaikan. Banyak pekerja migran mengeluhkan bahwa mereka tidak mendapatkan cukup makanan, atau makanan yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhan gizi mereka. Kondisi ini semakin memperburuk kesehatan mereka, menjadikan mereka rentan terhadap berbagai penyakit.
Tekanan dari Keluarga di Tanah Air
Di samping tantangan fisik, PMI juga menghadapi tekanan mental yang berasal dari tuntutan keluarga di tanah air. Banyak dari mereka merasa tertekan untuk mengirimkan uang secara rutin kepada keluarga, yang terkadang menjadikan beban tambahan di tengah kondisi kerja yang tidak manusiawi. Tekanan ini sering kali membuat mereka merasa terjebak dalam situasi yang sulit, di mana mereka harus memilih antara memenuhi kebutuhan keluarga dan menjaga kesehatan mental dan fisik mereka.
Kesehatan Mental yang Terabaikan
Kondisi ini menciptakan spiral stres yang dapat berdampak serius pada kesehatan mental. Berbagai laporan menunjukkan bahwa banyak PMI di Hong Kong mengalami masalah kesehatan mental yang serius, seperti depresi dan kecemasan. Namun, akses terhadap dukungan psikologis sering kali sangat terbatas. Banyak pekerja migran yang merasa malu atau takut untuk mencari bantuan, karena stigma yang melekat pada masalah kesehatan mental.
Harapan untuk Perwakilan Pemerintah
Menghadapi situasi yang semakin memprihatinkan ini, diharapkan perwakilan pemerintah Indonesia di Hong Kong dapat lebih aktif dalam menyuarakan hak-hak pekerja migran. Tindakan konkret seperti membentuk program dukungan psikologis dan advokasi untuk hak-hak dasar pekerja migran sangat diperlukan. Program-program tersebut bisa mencakup penyuluhan tentang hak-hak mereka, serta penyediaan layanan konseling yang dapat diakses dengan mudah.
Dukungan dari pemerintah dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan manusiawi bagi para pekerja migran di Hong Kong. Dengan langkah-langkah nyata, kita dapat membantu mereka mendobrak kesunyian yang selama ini membelenggu mereka.
Kontributor : Fina Luspita Dewi, Mahasiswa Universitas Siber Asia