Hidup dalam Tumpukan Barang, Saat Hoarding Jadi Masalah Komunikasi, Bukan Sekadar Kebiasaan
ZTV - Fenomena hoarder atau penimbun barang kini makin sering dibahas, terutama di media sosial dan reality show. Banyak yang mengira orang yang suka menimbun barang itu hanya “sayang membuang” atau “sentimentil.” Padahal, dalam dunia psikologi, hoarding disorder termasuk gangguan mental serius. Namun menariknya, jika kita lihat dari kacamata ilmu komunikasi, perilaku ini bukan sekadar soal mental, tapi juga tentang bagaimana seseorang membangun dan memaknai hubungan dengan lingkungannya melalui simbol dan pesan.
Kita bisa gunakan teori Interaksionisme Simbolik (George Herbert Mead) untuk membaca fenomena ini. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku manusia terbentuk dari makna yang muncul lewat interaksi sosial dan simbol di sekitarnya. Dalam kasus hoarder, setiap barang punya makna yang sangat personal: bisa jadi mewakili kenangan, rasa aman, atau bukti eksistensi diri. Jadi, bukan barangnya yang penting, melainkan pesan emosional yang dikandung di baliknya.
Masalahnya muncul ketika komunikasi dengan dunia luar terputus. Seorang hoarder biasanya kesulitan membedakan mana “nilai simbolik” dan “fungsi nyata.” Ia gagal mengelola pesan emosional itu, sehingga barang menjadi sarana komunikasi pengganti hubungan sosial. Dalam konteks ini, hoarding adalah bentuk komunikasi intrapersonal, cara seseorang “berbicara” dengan dirinya sendiri lewat benda.
Dari perspektif komunikasi kesehatan, hoarding disorder juga memperlihatkan pentingnya pesan-pesan edukatif yang empatik, bukan menghakimi. Label seperti “jorok” atau “aneh” justru memperburuk kondisi psikologis mereka. Sebaliknya, kampanye publik perlu menggunakan pendekatan komunikasi persuasif dan humanis, menekankan bahwa mencari bantuan profesional bukan tanda kelemahan, melainkan langkah untuk “membereskan ruang batin.”
Media sosial juga punya peran besar. Di satu sisi, banyak konten decluttering (beres-beres rumah) yang bisa menginspirasi. Tapi di sisi lain, ada juga konten yang mempermalukan hoarder, mengubah masalah mental menjadi tontonan. Di sinilah etika komunikasi diuji, apakah kita menyampaikan pesan untuk empati atau hanya mencari sensasi?
Jadi, fenomena hoarding bukan hanya tentang tumpukan barang, melainkan tentang tumpukan pesan yang tidak tersampaikan. Saat komunikasi dengan diri sendiri dan orang lain tersumbat, yang tersisa hanyalah ruang penuh benda tanpa makna sejati. Karena sejatinya, decluttering bukan cuma membersihkan rumah, tapi juga cara untuk berdamai dengan pesan-pesan masa lalu dalam diri kita sendiri.
Oleh : Erna Liswan, SS. MM. Mahasiswa Magister Komunikasi STIKOM Interstudi