BREAKING NEWS

Remaja dan Tekanan Emosional: Menyelami Stres dan Kecemasan di Masa Pencarian Identitas


ZTV - Di sebuah sore yang sunyi, Sintike (23) duduk di beranda rumahnya sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. Ia baru saja menutup laptop setelah membaca ulang pesan dari seorang remaja yang menuliskan: "saya capek, tapi nggak tahu capeknya kenapa."

Sumber ilustrasi: Pinterest.com/pngtree

Sebagai lulusan psikologi yang tertarik pada isu kesehatan mental remaja, Sintike sering mendapatkan pertanyaan, curhatan, bahkan ungkapan diam yang hanya terbaca lewat raut wajah. Dan satu hal yang ia sadari banyak remaja hari ini tampak baik-baik saja, padahal sebenarnya mereka sedang berjuang melawan badai di dalam diri. 

Di Balik Senyum yang Sunyi

“Banyak dari mereka terlihat ceria, aktif di media sosial, atau bercanda di sekolah,” ujar Sintike. Tapi saat kamu ajak bicara dengan pelan, banyak yang langsung runtuh. Bukan karena mereka lemah, tapi karena sudah terlalu lama menahan.

Stres dan kecemasan, menurut Sintike, bukan hal aneh di masa remaja. Justru normal jika mereka merasakannya. Remaja sedang berada dalam masa transisi yang penuh tantangan membentuk identitas, mencari pengakuan sosial, dan mulai merancang masa depan. Dari sisi psikologi, stres dan kecemasan adalah reaksi tubuh dan pikiran saat menghadapi tekanan tertentu.

Kecemasan kerap kali muncul sebagai perasaan takut atau khawatir terhadap sesuatu yang belum terjadi, sedangkan stres merupakan respons atas beban atau tuntutan yang terasa berlebihan.


Sumber ilustrasi: Pinterest.com

Namun tekanan dari berbagai sisi sering kali datang bersamaan tugas sekolah yang menumpuk, ekspektasi dari orang tua, konflik pertemanan, hingga paparan media sosial yang menampilkan hidup "sempurna" orang lain. Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, remaja saat ini lebih rentan terhadap tekanan mental. 

Mereka hidup dalam budaya serba cepat serba instan, serba tampil, dan serba dinilai. Mereka dituntut untuk segera mengerti, cepat sukses, dan selalu adaptif. Padahal, setiap individu punya waktu dan prosesnya masing-masing dalam tumbuh dan berkembang.

“Aku Takut Gagal”

Salah satu hal yang paling menyentuh hati Sintike adalah bagaimana remaja mudah merasa gagal, bahkan hanya karena tidak memenuhi standar tertentu.

“Pernah seorang remaja cerita, dia takut pulang karena nilainya turun,” kata Sintike. “Padahal, ia sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi ekspektasi orang tuanya tinggi sekali. Ia merasa, kalau gagal, maka ia tak lagi berarti.”
Cerita lain datang dari seorang siswa laki-laki yang tampak tenang tapi ternyata diam-diam menarik diri dari pergaulan. Ia merasa tidak cukup keren, tidak cukup pintar, tidak cukup layak. “Dia bilang, tiap buka media sosial, yang dia lihat hanya pencapaian orang lain. Dan itu membuat dia merasa semakin tidak percaya diri” ujar Sintike.


Gejala yang Terlihat, Tapi Diabaikan

Sintike menjelaskan bahwa gejala tekanan emosional kadang muncul dalam bentuk sederhana sering marah tanpa sebab, mudah menangis, sulit tidur, kehilangan semangat belajar, atau mendadak ingin menyendiri. Tapi sayangnya, banyak orang dewasa yang menilainya hanya sebagai fase labil. “Padahal bisa jadi itu sinyal tubuh dan pikiran yang sudah kelelahan,” jelasnya. Jika tekanan itu dibiarkan menumpuk tanpa jalan keluar, bisa berkembang menjadi kecemasan berlebih, gangguan panik, bahkan depresi.

Menolong Diri Sendiri, Langkah Demi Langkah

Sintike menekankan pentingnya edukasi sederhana namun nyata tentang kesehatan mental. Ia selalu mengingatkan bahwa mengelola tekanan bukan berarti menghilangkan semua masalah, tapi belajar menghadapi dengan cara yang lebih sehat. Berikut beberapa langkah yang menurutnya bisa dilakukan oleh remaja: 

• Berbicara dengan orang yang dipercaya, walaupun hanya satu orang.

• Mengurangi konsumsi media sosial, terutama jika isinya membuat perasaan memburuk

• Menjaga waktu tidur, karena istirahat sangat penting untuk kestabilan emosi.

• Melakukan aktivitas fisik ringan, seperti jalan kaki atau peregangan.

• Memberi waktu untuk diri sendiri, tanpa rasa bersalah.

Dan yang paling penting “Meminta bantuan bukan kelemahan. Itu tanda kamu cukup berani untuk peduli pada dirimu sendiri.”

Peran Kita: Mendengar Tanpa Menghakimi

Menurut Sintike, peran lingkungan sangat besar. Orang dewasa baik orang tua maupun guru harus belajar mendengarkan tanpa menghakimi. Bukan sekadar menasihati, tapi benar-benar hadir sebagai tempat aman bagi remaja untuk bercerita. 

“Kadang mereka cuma butuh didengar. Bukan dihakimi, bukan dibandingkan,” ujarnya. 

Sekolah dan rumah harus menjadi tempat yang aman menurut Sintike, edukasi tentang kesehatan mental bukan hanya sebatas seminar tahunan atau materi tambahan di kelas, tapi harus menjadi bagian dari budaya kepedulian kita sehari-hari. Kalau kita ingin remaja tumbuh sehat, kita harus mulai dari empati.

Karena itu, daripada terus menuntut mereka untuk "kuat", mari ajarkan bahwa tidak apa-apa merasa lelah, tidak apa-apa meminta tolong, dan tidak apa-apa tidak selalu tahu jawabannya.“Karena dari penerimaan itulah, kekuatan sejati tumbuh” tutup Sintike sambil tersenyum.



Kontributor : Oni Klarisa Marpaung, Mahasiswa Prodi PJJ Komunikasi Universitas Siber Asia
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar