Langkah Kecil dari Rumah Autis untuk Bumi Kita
Langkah Kecil dari Rumah Autis untuk Bumi Kita
Oleh: Yessy A. Cahya Purnama, S.Psi.
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, STIKOM Interstudi
Di tengah meningkatnya tumpukan limbah tekstil dan isu krisis lingkungan, secercah harapan tumbuh di Rumah Autis Bekasi. Di tempat sederhana ini, remaja berkemampuan khusus menenun potongan kain bekas menjadi keset warna-warni—menyulam bukan hanya kain, tapi juga harapan bagi bumi.
Kegiatan itu lahir dari kolaborasi antara Rumah Autis Bekasi dan lembaga sosial Donasi Barang Bekasi. Donasi Barang merupakan layanan terbuka bagi siapa pun yang ingin menyalurkan barang bekas layak pakai agar dapat dimanfaatkan kembali. Barang-barang yang terkumpul akan disortir terlebih dahulu. Pakaian yang layak pakai akan disalurkan untuk kegiatan sosial, sementara yang sudah tak layak pakai justru mendapat kehidupan baru: diberikan kepada Rumah Autis Bekasi sebagai bahan utama pembuatan prakarya keset daur ulang.
---
Belajar dari Serhan dan Ibu Farida
Saat berkunjung ke Rumah Autis Bekasi, suasana ruang keterampilan tampak penuh warna. Potongan kain tertata rapi di meja kelas. Di dalam ruangan kelas, seorang remaja tekun menenun kain. Dialah Serhan, 16 tahun, siswa remaja yang setiap hari datang untuk membuat keset dari pakaian bekas layak pakai.
Aktivitas itu sudah menjadi bagian dari rutinitas hariannya. Ia mengerjakan dengan fokus dan sabar, sementara di dekatnya, Ibu Farida—pengajar yang mendampingi—memantau dengan penuh kasih. “Saya hanya membantu dan mendampingi saja,” ujar Ibu Farida sambil tersenyum. “Selebihnya, mereka belajar dari konsistensi.”
Kalimat sederhana itu menyimpan makna dalam. Di baliknya ada filosofi pemberdayaan: kepercayaan dan kesempatan menjadi kunci tumbuhnya kemandirian. Serhan tidak hanya menenun kain bekas; ia sedang menenun rasa percaya diri, makna kebermanfaatan, dan kesadaran akan kontribusinya bagi lingkungan.
---
Komunikasi yang Menginspirasi
Dari perspektif komunikasi, kegiatan di Rumah Autis Bekasi mencerminkan praktik komunikasi efektif sebagaimana dirumuskan Harold D. Lasswell dalam model klasiknya: “Who says what, in which channel, to whom, and with what effect.” Dalam konteks ini, para pembimbing seperti Ibu Farida menjadi komunikator yang menyampaikan pesan melalui tindakan, bukan sekadar kata-kata.
Pesannya jelas: keterbatasan bukan penghalang untuk berbuat baik. Salurannya adalah kegiatan keterampilan daur ulang yang dilakukan secara rutin, serta publikasi hasil karya melalui media sosial. Penerimanya bukan hanya para siswa, melainkan juga masyarakat yang menyaksikan bahwa inklusi sosial dapat melahirkan kepedulian lingkungan.
Efek komunikasinya nyata. Siswa menjadi lebih percaya diri, masyarakat semakin terbuka terhadap keberagaman, dan lingkungan mendapat manfaat dari praktik daur ulang. Komunikasi di sini tidak sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga mendorong perubahan perilaku dan cara pandang.
---
Dari Edukasi Menuju Transformasi
Selama ini, pendidikan inklusif kerap dipahami sebatas soal akses—bagaimana peserta didik berkemampuan khusus bisa bersekolah. Padahal, inklusi sejati berarti memberdayakan semua individu agar menjadi bagian dari solusi sosial dan lingkungan.
Rumah Autis Bekasi menerjemahkan prinsip itu dengan cara sederhana namun bermakna. Melalui kegiatan membuat prakarya keset dari pakaian bekas tidak layak pakai, para remaja tidak hanya belajar keterampilan hidup, tetapi juga menanamkan nilai keberlanjutan (sustainability). Mereka diajak memahami bahwa menjaga bumi bukan tanggung jawab segelintir orang, melainkan kewajiban bersama.
Krisis lingkungan tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah atau aktivis semata. Diperlukan partisipasi dari setiap lapisan masyarakat, termasuk mereka yang sering terpinggirkan. Dalam konteks ini, karya sederhana seperti keset buatan Serhan menjadi bentuk komunikasi lingkungan paling tulus—lahir dari kesadaran dan kerja nyata, bukan sekadar slogan.
---
Menenun Kesadaran Baru
Tulisan ini bukan sekadar pujian bagi sebuah program, melainkan ajakan untuk menata ulang cara kita memandang perubahan sosial. Perubahan besar selalu bermula dari langkah kecil. Daur ulang pakaian bekas tidak layak pakai mungkin tidak menghapus krisis limbah tekstil dalam sekejap, tetapi mampu mengubah cara kita melihat makna kontribusi dan keberlanjutan.
Remaja istimewa seperti Serhan mengingatkan kita bahwa komunikasi tidak selalu hadir dalam bentuk kampanye besar atau poster mewah. Kadang, komunikasi paling kuat justru muncul dalam tindakan kecil—dalam kesabaran seorang remaja menenun kain dari pakaian bekas tidak layak pakai menjadi keset, dan dalam ketulusan seorang pengajar mendampingi dengan cinta.
Dari ruang sederhana di Rumah Autis Bekasi, mereka sedang menenun bukan hanya kain, tetapi juga kesadaran baru: bahwa setiap tangan, sekecil apa pun, mampu memberi warna bagi bumi yang kita cintai. Karena bumi tidak menuntut langkah besar—ia hanya menunggu kita untuk mulai.
---
✍️ Tentang Penulis:
Yessy A. Cahya Purnama, S.Psi., adalah mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi STIKOM Interstudi yang menaruh perhatian pada isu komunikasi sosial, lingkungan, dan pemberdayaan kelompok inklusif.