Ketika Komunikasi Menghangatkan Dingin: Refleksi Budaya Tegur Sapa Pendaki Gunung
(Ketika Komunikasi Menghangatkan Dingin: Refleksi Budaya Tegur Sapa Pendaki Gunung/foto: ist)
Naik gunung sering kali dianggap sebagai perjalanan fisik menaklukkan ketinggian, menembus kabut, dan mencari pemandangan terbaik di puncak. Namun bagi saya, pendakian selalu punya sisi lain: perjalanan komunikasi antar manusia. Di setiap langkah menuju puncak, kita tidak hanya mendaki gunung, tapi juga sedang membangun jembatan kecil antar sesama pendaki lewat satu kata sederhana: “semangat.”
Tanggal 13 Oktober kemarin, saya bersama tiga orang teman memutuskan menapaki jalur Merbabu. Cuaca tidak bersahabat. Kami bertemu badai lebih dari sekali, dari pos ke pos, hingga akhirnya sampai di puncak. Saat itu, tidak ada pemandangan indah yang bisa kami lihat. Semua tertutup kabut dan hujan yang tak kunjung reda. Setiap orang menggigil, sebagian sibuk mencari tempat berlindung, sebagian lagi hanya diam menatap tanah. Namun di tengah suasana yang muram itu, satu suara memecah keheningan. Seorang pendaki dari ujung puncak berseru, “Ayo foto bareng semua!”
Awalnya hanya beberapa yang menoleh, tapi perlahan semua mendekat. Kami, yang sebelumnya sibuk dengan kelompok masing-masing, tiba-tiba saling tersenyum, saling menepuk pundak, bahkan berpelukan. Ada yang tertawa, ada yang berkata “selamat sudah sampai puncak,” dan ada juga yang saling bertukar nomor. Momen itu sederhana, tapi begitu hangat. Badai memang belum reda, tapi suasananya terasa lebih ringan. Di detik-detik terakhir sebelum kami turun, kabut mendadak terbuka dan matahari muncul. Kami menyaksikan lautan awan terbentang di depan mata pemandangan terbaik sepanjang perjalanan.
Saya kemudian berpikir, mungkin memang bukan pemandangan yang membuat pendakian berkesan, tapi interaksi antar manusia di dalamnya. Sering kali di puncak gunung kita terlalu sibuk dengan kamera dan genggaman ponsel, hingga lupa menatap orang di sebelah kita dan berkata: “Selamat, kamu juga berhasil sampai.” Padahal, menurut teori Harold Lasswell, komunikasi pada dasarnya adalah proses untuk memahami “siapa mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa, dan dengan efek apa.” Dalam konteks ini, tegur sapa dan ucapan selamat bukan sekadar kata, tapi sebuah pesan yang membawa efek emosional menciptakan rasa kebersamaan, penghargaan, dan solidaritas di tempat yang dingin dan keras seperti puncak gunung.
Sementara itu, jika dikaitkan dengan Robert T. Craig, komunikasi bisa dipahami sebagai praktik sosial yang membentuk realitas. Artinya, ketika seseorang memilih untuk menyapa, tersenyum, atau mengajak foto bersama, ia sedang membangun makna sosial baru: bahwa pendakian bukan hanya tentang individu, tapi tentang komunitas. Bahwa rasa hangat bisa muncul bahkan di tempat paling dingin sekalipun, selama ada kemauan untuk berbagi energi positif dengan orang lain.
Saya rasa, tegur sapa di gunung adalah simbol kecil dari nilai kemanusiaan yang besar. Bahwa di atas ketinggian, semua orang setara tak peduli dari mana asalnya, seberapa mahal peralatannya, atau seberapa sering ia mendaki. Yang tersisa hanyalah manusia yang sama-sama berjuang, sama-sama lelah, dan sama-sama ingin sampai. Mungkin karena itulah, setiap kata “selamat sampai puncak” yang tulus, terasa jauh lebih hangat daripada sinar matahari di atas awan.
Oleh : Christian Shinta Nafiry Lian, Mahasiswa Magister Komunikasi STIKOM INTERSTUDI