Krisis Populasi di Jepang dan Dampaknya terhadap Kehidupan Sosial MasyarakatKisah dari Chiran: Ketika Kemajuan Teknologi Berhadapan dengan Realitas Demografis
ZTV.JEPANG - Di tengah gemerlap teknologi canggih dan modernisasi yang memukau, Jepang menghadapi tantangan besar yang jarang tersorot media: krisis populasi yang mengancam keberlangsungan sosial masyarakatnya. Fenomena yang dijuluki sebagai "populasi yang menghilang" ini tidak hanya terlihat dalam statistik, tetapi juga dirasakan langsung dalam kehidupan sehari-hari warga Jepang.
Nur Aprilia Ningsih, mahasiswi Indonesia berusia 26 tahun yang telah tinggal di Chiran, Prefektur Kagoshima sejak Februari 2024, menjadi saksi langsung bagaimana krisis ini membentuk kehidupan masyarakat di daerah pinggiran Jepang. Melalui pengalamannya bekerja di pusat lansia dan berinteraksi dengan warga lokal, ia memberikan perspektif unik tentang realitas demografis yang tengah dihadapi Negeri Sakura.
Chiran, sebuah kota kecil yang terletak di dataran tinggi Kagoshima, dikelilingi hutan hijau dan persawahan yang membentang luas. "Lingkungan di sini sangat sepi dan jauh dari keramaian," ungkap Aprilia menggambarkan keseharian di kota yang kini menjadi rumah keduanya.
Kesunyian ini bukan tanpa alasan. Banyak rumah dan kantor yang berdiri kosong, sementara sebagian besar penghuni adalah lansia. Meskipun masih terlihat anak-anak dan remaja bermain di sekitar sekolah, pola yang terjadi selalu sama: setelah lulus SMA, mereka akan meninggalkan Chiran menuju kota-kota besar seperti Osaka dan Tokyo untuk melanjutkan studi atau mencari pekerjaan.
"Mereka pergi dengan alasan yang sama: dekat dengan keramaian dan lapangan pekerjaan yang lebih banyak," jelas Aprilia. Eksodus generasi muda ini meninggalkan kota-kota kecil dengan populasi yang didominasi lansia.
Meski Chiran tergolong lebih beruntung dibandingkan daerah pelosok lainnya—dengan sektor pendidikan dari day care hingga SMA yang masih ramai—dampak krisis populasi tetap terasa. Beberapa toko sudah tidak beroperasi, dan kantor-kantor mulai tutup karena kekurangan tenaga kerja.
Aprilia menceritakan tentang rekan kerjanya, seorang lansia yang hidup sebatang kara karena anak-anaknya tinggal di Tokyo. "Ada beberapa lansia yang hidup sendirian, termasuk rekan kerja saya. Anak-anaknya tinggal di Tokyo," katanya dengan nada prihatin.
Kondisi ini mencerminkan fenomena yang lebih luas di Jepang, di mana keluarga terpisah jarak karena urbanisasi dan pencarian kesempatan yang lebih baik di kota-kota besar.
Mengapa angka kelahiran di Jepang terus menurun? Menurut pengamatan Aprilia, penyebab utamanya adalah keengganan orang Jepang untuk menikah. "Kebanyakan orang Jepang tidak mau menikah dengan alasan biaya pernikahan yang mahal dan pajak yang akan semakin besar," jelasnya.
Bahkan ketika mereka menikah, banyak pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak atau menerapkan konsep "child free". Fenomena ini mencerminkan pergeseran nilai dan prioritas hidup generasi muda Jepang yang lebih mengutamakan kebebasan personal dan stabilitas finansial.
Pemerintah Jepang tidak tinggal diam menghadapi krisis ini. Berbagai insentif telah diberikan untuk mendorong angka kelahiran, mulai dari bantuan untuk ibu hamil, pemeriksaan kehamilan gratis, hingga tunjangan setelah bayi lahir.
"Pemerintah Jepang sangat mendukung dalam hal ini karena berharap ada peningkatan jumlah penduduk," kata Aprilia.
Di sisi lain, krisis populasi ini membuka peluang besar bagi pekerja asing, terutama di bidang perawatan lansia. "Jika dilihat dari banyaknya jumlah lansia di Jepang, peluang pekerjaan untuk warga asing sangat besar dan banyak dibutuhkan, terutama di bidang perawat lansia," ungkap Aprilia.
Banyak perusahaan kini aktif mencari tenaga kerja asing untuk mengisi kekosongan di sektor ini, menandakan bahwa imigrasi menjadi salah satu solusi jangka pendek untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja.
Menariknya, warga lokal Chiran sudah terbiasa dengan kondisi ini. Meskipun ada rasa khawatir, mereka menerima kenyataan bahwa anak-anak dan remaja akan meninggalkan kampung halaman ketika dewasa untuk mencari kehidupan yang lebih baik di kota besar.
Bagi Aprilia sendiri, tinggal di lingkungan yang didominasi lansia memberikan pengalaman yang unik. "Saya pribadi merasakan kedamaian karena tinggal di lingkungan yang bersih dan nyaman, apalagi dengan keramahan warga lokal di sini," katanya.
Krisis populasi di Jepang mengajarkan bahwa kemajuan teknologi dan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan keberlanjutan demografis. Negara dengan inovasi canggih pun bisa menghadapi tantangan fundamental dalam menjaga keberlangsungan generasi.
"Harapan saya, semoga ke depannya pemerintah Jepang lebih memperhatikan lagi tentang hal ini dan generasi muda tidak takut untuk menikah dan mempunyai anak," tutup Aprilia dengan harapan.
Pengalaman Jepang menjadi cermin bagi negara-negara maju lainnya bahwa kesejahteraan masyarakat bukan hanya tentang ekonomi dan teknologi, tetapi juga tentang kualitas hubungan sosial, keberlangsungan generasi, dan keberadaan komunitas yang saling mendukung.
Dalam kesunyian Chiran yang damai, tersimpan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan, antara modernisasi dan nilai-nilai tradisional yang membuat sebuah masyarakat tetap hidup dan berkelanjutan.
___________
Artikel ini berdasarkan wawancara dengan Nur Aprilia Ningsih, mahasiswa Indonesia yang tinggal di Chiran, Prefektur Kagoshima, Jepang.
Kontributor : Raden Poppy Hassan - NIM 230501010148, Mahasiswa Universitas Siber Asia